Biasanya si, pria memang
kurang mampu mengungkapkan rasa sayang atau cinta termasuk saya. Dilain pihak,
kebutuhan mereka untuk disayang justru lebih besar daripada pihak wanita. Namun
tidak mudah bagi mereka untuk menyatakan itu. Akibatnya mereka sering merasa
kesepian.
Dapat dikatakan bahwa
satu – satunya hubungan untuk memproleh rasa sayang yaitu dengan berhubungan
seks dengan pasangan. Paradoks justru terletak disini, dalam tingkah lakunya
seorang pria kurang bersikap penyayang, namun mereka malah membutuhkan perasaan
disayang.
Bagi Kebanyakan pria,
agresi seksual adalah cara menyatakan keakraban, sedangkan bagi wanita,
keakraban adalah sarana untuk bersikap seksual. Bila pria merasa kesepian atau
terluka, mereka ingin dibelai, dirangkul dan bercampur tubuh. Bila wanita
merasa terluka, mereka ingin disapa, diajak bicara dan dimengerti. Perbedaan
ini sering membingungkan dan menyebabkan masalah – masalah serius antara pasangan.
Lalu banyak hal yang
membuat saya tambah bingung dan muncul pertanyaan. Apakah cinta hanya kedok
untuk kegairahan seks? atau hanya trik biologis yang membuat manusia dapat
mempertahankan populasi? hanya itu yang kita butuh? apa kita membutuhkannya?
Cinta anak zaman now
sangat identik dengan romantisme dan humorisme yang lebih familiar dengan
sebutan bucin. Tapi apakah semua itu menemukan tujuan? Jawablah semua
pertanyaan itu, karena saya utusan Plato, yang hanya membuat berfikir dan tidak
berbicara terlalu banyak, hanya menulis ya memang tidak bicara.
Karena tadi menyebut nama
Plato, saya teringat mungkin Plato tersindir dengan tulisan saya ini, dia
menemukan teori menarik yang katanya “Cinta membuat kita utuh lagi”, saya jawab
“Ashiapp”. Menarik memang, pemikiran saya yang baru ini, yang mengkontradiksikan
seks dan cinta ternyata Plato berkata beda dengan pemikiran saya itu. Filsuf
Yunani Kuno itu, mengeksplorasi ide mengapa kita mencintai untuk menjadi
sempurna, bukan mencari yang sempurna.
Saya jadi teringat pria
yang mencintai wanita yang sempurna dan yang cintanya ditolak, Friedrich Nietzsche
yang merupakan filsuf Jerman dan seorang ahli Ilmu Filologi. Dalam bukunya
The Gay Science, ia menulis “kata cinta itu sendiri menandakan
dua hal yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan. Pemahaman perempuan
tentang cinta, cukup jelas: cinta tidak hanya pengabdian tetapi penyerahan
jiwa-raga tanpa syarat, tanpa mengharapkan penghargaan dalam bentuk apa
pun”. Sedangkan pemahaman cinta laki-laki “apabila ia mencintai
perempuan, ia menginginkan perempuan itu juga mencintainya, sehingga laki-laki
tidak harus selalu mengungkapkan perasaannya, terlihat tidak menuntut dan tidak
mengejar-ngejar perempuan. Apabila ada laki-laki yang mempunyai keinginan menyerahkan
diri pada cinta, maka ia bukan laki-laki.”
Saya dapat menangkap
secara sederhana “Cinta itu tanpa pamrih, tanpa menuntut dan mengharapkan apapun”,
itu poin dari Nietzsche. Dosen filsafat UIN Jakarta: Doktor Kusen, Ph.D pernah
memberikan contoh mengenai teori ini yang menjadi kontroversi di ruang kelas perkuliahan,
terukhusus kepada “mahasiswi”. Ahli filsafat itu mengatakan, bahwa hubungan
seks yang tidak menuntut untuk dinikahi, itulah yang dinamakan “Cinta”.
Menurut saya; seks, nafsu
dan cinta, merupakan ketiga kawan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya saling
berkaitan satu sama lainnya. Mangkanya banyak istilah, seperti: Cinta Satu
Malam, Cinta Tanpa Alasan, Bercinta 1 Jam, dan sebagainya. Tetapi mengenai
cinta itu sendiri jarang sekali dibahas atau menjadi ladang diskusi.
Cinta memang sangat sulit
didefinisikan, tetapi lebih sulit lagi jika dipisahkan dengan seks. Arthur Schopenhaue filsuf Jerman, menyatakan bahwa cinta yang
didasari hasrat seksual adalah ilusi gairah. Mencintai karena hasrat memacu
kita untuk percaya bahwa orang tersebut akan membuat kita bahagia, tapi sayang,
itu semua keliru. Alam yang menjebak kita untuk berkembang biak dan perpaduan
cinta yang didamba terwujud dalam anak.
Ketika hasrat seksual terpuaskan kita kembali
terlempar ke dalam eksistensi kita yang hanya mempertahankan spesies, kalau
berhasil membuahi, kalau tidak?
Lalu timbul pertanyaan dari para jomblonisme,
apakah cinta merupakan pelarian dari kesendirian dalam sepi?
Ya bisa juga, cintalah
pelarian dari kesendirian. Mencintai untuk memuaskan hasrat fisik dan
psikologis. Manusia memang sudah dirancang untuk berkembang biak. Namun tanpa
cinta yang bergairah, seks tidak memuaskan. Kesenangan cinta, keintiman, dan
kehangatan membantu kita melupakan ketakutan atas dunia. Termasuk dari
kesendirian untuk terlibat dalam hidup yang terus berubah.
Mari akhiri dengan hal
yang lebih positif. Filsuf Perancis, Simone de Beauvoir, menyatakan cinta
sebagai hasrat untuk bersatu dengan yang lain dan memberi makna dalam
kehidupan. Tetapi, dia tidak memperhatikan alasan mengapa mencintai dirimu dan
lebih tertarik dengan bagaimana agar dapat mencintai lebih baik lagi.
Mungkin sebagian melihat keindahan
keromantisan dalam cinta yang dapat membuat tertarik untuk menjadi alasan
tunggal dalam mencintai. Itu fatal, karena akan membawa dalam ketergantungan
dan memicu rasa bosan. Untuk menghindari lubang itu, Beauvoir menyarankan cinta
apa adanya, yang lebih mirip persahabatan, yang saling menopang dalam pencarian
diri, menggapai impian dan memperkaya jasmani serta rohani mereka bersama.
Tetapi kita mungkin tak
akan tahu, alasan mengapa kita mencintai. Apakah kita bisa yakin bahwa cinta
seperti roller coaster? Menakutkan dan menyenangkan. Membuat menderita,
membuat teriakan dan membuat melambung tinggi. Mungkin kita dapat kehilangan
atau bahkan sebaliknya “menemukan” cinta sejati. Mungkin dapat mematahkan hati
atau justru menyambung patahan menjadi lebih kuat.
*Tulisan juga diterbitkan pada media qureta.com
*Tulisan juga diterbitkan pada media qureta.com
Follow Us