Pukul 04.00 pagi, saya terbiasa bangun jam segitu, tapi nggak terlalu sering. Sebab, saya bangun pagi ya dikarenakan saya terbangun, karena terbiasa. Nah lho, dibalik -- balikkan. Bercanda lho.

Jadi begini, saya mau cerita.

Perkenalkan nama saya Arka, saya bukan keturunan darah biru, pejabat dan bukan keturunan pemuka agama maupun tokoh masyarakat. Saya biasa -- biasa aja, anak seorang dari Ayah yang bekerja sebagai driver ojek online. Sedangkan Ibu saya sosok yang biasa aja, hanya buruh cuci. Namun hati dan perbuatannya selalu mulia. Intinya saya biasa -- biasa aja.

Saya sekarang tinggal di musholah daerah Pamulang, Jawa Barat. Saya mengurus musholah dan nyambil meneruskan kuliah saya di Ciputat. Rumah orangtua saya di Jakarta Selatan, tepatnya di Mampang Prapatan.

Kegiatan sehari -- hari saya ya, seperti biasa kebanyakan mahasiswa lain, kuliah -- pulang (Kupu -- Kupu). Selain itu kegiatan saya, menjaga serta membersihkan musholah. Menjelang siang di hari Rabu, 08.00 saya berangkat kuliah menggunakan sepeda motor antik pemberian warga.

Segeralah saya kuliah dan hanya satu mata kuliah hari itu.

Pukul 10.00 saya kembali, sesampainya di musholah saya menunggu waktu zuhur sambil membaca buku favorit yaitu buku karangan Harun Nasution, mungkin menurut kamu buku yang saya baca membosankan karena buku ilmiah semua.

Saya membaca buku ilmiah bukan karena suka, tapi cuman punya buku itu. Sebenarnya, saya lebih menyukai novel yang bahasanya sederhana, seperti karangan Tere Liye dan Rintik Sedu, walaupun saya nggak punya bukunya.

Waktu zuhur tiba, sehabis zuhur saya merasa lelah karena hampir semalaman saya membaca dan sedikit termenung. Saya terlelap, yang biasanya saya nggak pernah tidur siang, tapi siang itu saya tertidur.

Beberapa jam kemudian saya terbangun. Ketika tidur saya sepertinya dipertemukan pada seorang perempuan yang mungkin namanya nggak asing dalam setiap harapan tersembunyi saya pada Tuhan. Mimpi tentangnya berulang lebih dari tiga kali setelah mimpi pertama di siang itu.

Saya bercakap pada teman sekamar "Mam, kalo mimpiin seseorang itu tandanya apa yak?" tanya saya.

"Mungkin rindu ka,"

Muka saya nggak memerah, nggak salah tingkah, seperti orang jatuh cinta lainnya. Tetapi yang dirasa ialah kegelisahan. Pertanyaan paling mendasar, apa saya terlalu berharap pada perempuan itu, sehingga saya membawanya ke dalam mimpi, atau Tuhan yang mengantarnya ke mimpi saya?

Entahlah, saya takut. Bilamana saya telah terjatuh sejatuh -- jatuhnya dalam mencintanya. Tetapi saya nggak pernah lupa siapa diri saya ini dan siapa dirinya. Saya merasa ada kesenjangan status sosial diantara saya dengan dia, itu yang terus menghantui saya.

Nggak banyak yang dapat saya lakukan kecuali berdoa pada-Nya. Lalu berharap pada doa, yang saya sendiri nggak tahu, doa itu sampai atau malah nyangkut di awan. Karena saya tanya pada guru agama, siapa yang bisa menjamin doa itu sampai, guru agama saya malah bilang "hanya Tuhan yang mengetahui", terus saya harus tanya Tuhan supaya mengetahui? Caranya gimana ya? bingung jadinya saya.

Nggak banyak usaha yang saya lakukan selain berdoa. Nggak sanggup mulut ini mengatakan saya inginkan dia untuk menjadi teman hidup saya. Nggak sanggup, berucap "jadilah tempat pertama dan terakhir saya dalam bercerita".

Sambungan

Menyambung percakapan dengan teman saya tadi, mungkin betul kali ya, saya sedang merindunya. Mungkin karena saya nggak pernah ketemu lagi sudah berbulan -- bulan, bisa jadi karena kita beda jurusan di kampus.

Terakhir kali bertegur sapa, pada saat ia sedang duduk depan perpustakaan sambil mengkoreksi lembar soal muridnya, ia seorang guru di yayasan yatim disamping kegiatan kuliahnya. Itu juga yang membuat saya kagum dengannya.

Padahal saya sudah pura -- pura tidak melihatnya, tiba -- tiba ia menyapa dengan penuh keceriaan,

"Arka, sombong banget", teriaknya

Saya kaget, ia menyapa seolah nggak ada yang aneh. Ya, walaupun pada kenyataannya memang nggak ada kalau bagi dia. Tapi, sumpah badan saya gemetar. Saya menghampirinya dan sedikit bicara padanya, omongan saya juga nggak seperti biasanya, saya grogi, nggak lancar, patah -- patah.

Padahal kalau debat sama dosen nggak pernah saya seperti itu. Ia lebih menakutkan dari dosen. Dapat disimpulkan, berarti sayanya saja yang aneh. Dengan modal nekat, saya mencoba memulai duluan,

"Iyaa khan, sedang apa?," ucap saya

"Ini sedang nyoret aja," jawabnya

"Aduh gua harus ngomong apalagi  ya," ucap dalam hati

Akhirnya saya terdiam. Ia pun sibuk dengan kertas ujian muridnya. Saya nggak tahu harus bicara apalagi seperti terkunci mulut saya ini, akhirnya saya pamit karena memang sudah nggak sanggup lagi berada disampingnya atau juga karena sama-sama diam.

Kejadian di perpustakaan fakultas itu, sebetulnya sudah lama sekali. Saat saya semester dua. Tahun 2019, dan sekarang saya semester lima di tahun 2020.

Karena teman saya banyak yang greget dengan cara saya menyimpan harapan pada perempuan itu, sebagian teman saya memberi saran agar saya bilang aja, bahwa saya mencintainya. Enak bener situ ngomong.

Tetapi nggak semudah itu. Saya nggak ada mental untuk ungkapkan itu. Disamping itu, saya merasa khawatir ia nggak punya perasaan yang sama pada saya. Argghhhh saya ini banyak mikirnya.

Ada hal yang lebih dikhawatirkan, yaitu jika saya suatu saat mendapatkan kabar ia sudah bersama yang lain. Dengan penyeselan akibat kesalahan sepele, hanya karena saya nggak berani buat bilang, nggak berani mengungkapkan. Padahal kan nggak harus bicara langsung, bisa lewat pesan manual (surat) atau lewat fitur chatting pada telepon seluler.

Di tahun 2020 ini, genap sudah harapan saya setahun setengah. Saya menyukainya dari masa pengenalan kampus di Tahun 2018.


*Tulisan telah terbit di Kompasiana.com