Prof. Anhar Gonggong di
(Forum ILC, 19/02/20), mengatakan “Pertama, republik ini dan dalam
kerangka dasar Pancasila, yang menciptakannya orang beragama. Dan kedua, orang
– orang itu orang terdidik dan tercerahkan.” Ujar, Sejarawan senior itu, dalam
perdebatan mengenai “Agama Musuh Terbesar Pancasila?”
Para sejarawan sudah
menyatakan dan sepakat bahwa Pancasila dibentuk oleh orang yang beragama.
Tetapi bagaimana dengan orang yang tidak beragama, yang lebih dikenal dengan
sebutan agnostik. Lalu, seperti apa posisi para atheis dan agnostik di kacamata
Pancasila?
Posisi orang atheis dan
agnostik masih abstrak. Orang yang mempercayai Tuhan, tetapi tidak percaya dengan
agama disebut agnostik. Sedangkan yang tidak mempercayai Tuhan disebut atheis,
yang otomatis juga tidak percaya agama karena, agama sebagai sistem atau
perangkat untuk menggapai Tuhan.
Argumentasi yang dibangun
orang atheis, bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan sains. Tuhan
tidak dapat dilihat oleh manusia dan berbuat baik tidak harus bertuhan.
Kemudian, saya bangun sendiri argumentasi orang agnostik, yang menurut saya, ketidakpercayaan
orang atas agama, karena banyak konflik terjadi dengan dasar “agama”. Akibat
terlalu fanatik terhadap agama tertentu yang dibenturkan dengan politik
kekuasaan, dapat disebut sebagai manipulator agama dan eksekutor politik yang
menyeret agama, untuk memperluas wilayah kekuasaan.
Lalu atheis, yang pasti
terasingkan pada saat pembahasan Pancasila. Padahal katanya Pancasila sudah
final, tetapi selalu dibahas berkali – kali, dan pembahasannya itu – itu saja. Masih
seputar masalah ideologi. Dan pada nyatanya, masih belum final, karena pada
praktiknya masih minim.
Melihat kacamata yang
berbeda dalam Pancasila, harus merujuk pada ahli Pancasila, bukan pada politisi
ataupun tokoh agama, pasti keliru dan kebingungan. Karena mereka menggunakan
Pancasila sebagai alat melanggengkan kekuasaan, mencari masa, dan melindungi
para kapitalis!
Mengutip buku: Pancasila,
terbitan Ideamedia Pustaka Utama, tahun 2018. Dr. Hendra Nurtjahjo (Ketua
Pusat Studi Pancasila, Univ. Pancasila dan Ketua Asosiasi Dosen Pancasila
Se-Indonesia) mengatakan, Pancasila adalah hasil buah pikir, renungan, dan extract
theosofie. Sebagai hasil olah pikir, Pancasila menjadi ideologi kehidupan
bernegara. Pancasila menjadi pandangan hidup yang menjadi pegangan personal
atau suatu kelompok dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks kehidupan
bernegara yang lebih nyata, Pancasila kemudian menjadi rechtsideologie yang
menjadi sandaran dasar bagi tatanan norma hukum yang menjadi tulang punggung
kehidupan bernegara dan berbangsa, bukan kehidupan beragama. Walaupun nilai
terkandung dalam Pancasila hasil dari sosial dan budaya masyarakat beragama,
tetapi saya kira ini keliru, masyarakat Indonesia tidak semua beragama dan bertuhan.
Dari semua pernyataan di
atas, sebagai akademisi, saya memberi pendapat beberapa pokok permasalahan yang
terjadi diantaranya, masih menjadi “kesenjangan” antara ideologi dan praktik
perilaku sehari – hari yang diperlihatkan oleh para pemimpin ataupun tokoh
masyarakat, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Kesenjangan yang terjadi
misalnya dalam menggunakan diksi, penjelasan mengenai hukum yang rumit yang
dipaparkan dan teori yang terbilang terlalu bertele – tele, padahal pada
praktiknya masih tidak ada nilai Pancasila. Masih memihak pada kapitalis (kaum
bermodal). Bukan pada rakyat kecil. Rakyat tidak butuh penjelasan, tetapi butuh
pembuktian dan hasil.
Hasil tidak terlihat,
mungkin ada Kebijakan maupun strategi dan upaya untuk mensosialisasikan dan
menginternalisasikan nilai dari Pancasila masih belum merata, belum sistematis.
Salah satu upaya pemerintah yaitu membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP). Banyak opini yang berpendapat BPIP tidak menghasilkan apa-apa. Wajar
saja, karena laporan pengurus sebelumnya tertutup, wartawan diminta keluar pada
saat pelaporan hasil kerja.
Sederhana saja, yang
harus ditingkatkan masyarakat yaitu mengenai pemahaman yang berdasar pada
pengetahuan faktual yang bersifat empiris. Persepsi tentang “apa itu
Pancasila dan mengapa Pancasila” suatu hal yang sangat sederhana, tetapi
sangat diperlukan untuk Indonesia. Dengan persepsi dari masyarakat, saya
berharap Pancasila mulai dipraktikkan oleh kalangan masyarakat, dari golongan
bawah hingga atas. Saya rasa, itu yang harus BPIP mulai.
Namun, tidak mudah untuk
melakukan tindakan tersebut. Sebelum kita sebagai bangsa Indonesia, belum
menjadikan Pancasila sebagai “tekad”, komitmen dan pedoman tingkah laku dalam
kehidupan sehari – hari. Baik di dalam lingkungan pekerjaan, birokrasi, swasta
dan lain – lain. Termasuk dalam kehidupan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia dimanapun berada: termasuk di Papua,
dan siapapun itu, termasuk: agnostik dan Atheis.
Dengan demikian jelas,
untuk memahami Pancasila harus dengan keseluruhan Sila; bukan hanya satu saja.
Dan pembahasannya tidak hanya mengenai ideologinya saja, apalagi statis di Sila
Pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Lebih miris lagi, yang
berbicara itu adalah para ahli. Tetapi sayang, cara pandangnya tidak universal.
Masih sempit, sampai mengatakan tidak ada tempat bagi orang yang tidak
beragama, karena Pancasila dibentuk oleh orang beragama. Padahal kehidupan
berbangsa ini, tidak harus memandang agama maupun kesukuan untuk saling
bergotong royong.
Merujuk pada sila kedua,
“kemanusian yang adil dan beradab” Pancasila sangat bersifat humanis dan
ber-etika. Agnostik maupun atheis, adalah manusia yang berwarganegara
Indonesia. Jadi, semua yang ada di Indonesia, adalah Pancasila dan mereka ada
dalam Pancasila.
Apalagi melihat sila
selanjutnya, “Persatuan Indonesia”, sangat jelas perbedaan dan keberagaman
adalah senjata untuk mempersatu bangsa, bukan sebaliknya. Kekeliruan tafsir dan
praktiknya terjadi disini. Menggunakan politik dipublik dengan cara memecah
belah, melalui hoax tanpa adanya diskusi dan yang seakan – akan membela,
padahal nyatanya tidak.
Sila keempat, “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”,
terlihat jelas; musyawarah untuk kaum elit, bukan kaum menengah kebawah.
Mangkanya, hasilnya juga memihak kaum elite. Tidak ada kehikmatan, yang ada
hanya pemerasan harga kebutuhan yang selalu tinggi.
Sila kelima, “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, seluruh? Berarti termasuk atheis dan
agonostik. Logikanya sederhana, ekstrimis, komunis dan Liberalpun jika merujuk
pada Sila ini, justru harus mendapat tempat dan keadilan. Bukan malah diserang
dan berdampak pada psikologis sosialnya yang disebut keterangsingan sosial.
Bahkan mereka sering dapat perlakuan yang diskrimatif.
Pada perumusannya
Pancasila sudah final, tetapi pada praktiknya masih terbilang minus dan zonk.
Jauh dari harapan para pendiri bangsa Indonesia yang sudah memperjuangkan
Pancasila, dan para perumus Pancasila bukan hanya yang terdaftar di BPUKI,
mereka hanya mewakilkan seluruh rakyat Indonesia.
Solusinya untuk merubah
itu semua, kita harus intropeksi diri, apakah kita sudah toleransi terhadap
orang yang intoleran? Padahal Pancasila sudah sempurna, mengajarkan makna
keadilan dan kemanusiaan dengan sangat jelas dan banyak pesan yang tersirat.
Selain intropeksi diri,
kita harus menanamkan perilaku jujur dimulai dari hal kecil sehingga ketika
sudah menjadi orang besar kita ingat, bahwa kita pernah mengembalikan uang 500 rupiah, ke ibu kita.
*tulisan ini dibuat tanggal 20/02/2020, namun digantung oleh 4 media besar (biasanya kalau ditolak ada info langsung kurang dari 24 jam), namun ini tidak ada pemberitahuan, apa karena terlalu liar? jadi saya terbitkan di blog pribadi
Follow Us