Kata orang, politik itu tentang kekuasaan; bagaimana mencari, mendapatkan, mengaduk, lalu mempertahankan. Apa pun cara akan dilakukan agar mencapai tujuan. 

Saya sering berdebat dengan orang yang mengartikan pemimpin sebagai orang yang menjadi panutan. Saya akan selalu berargumen bahwa pemimpin itu adalah orang yang berkuasa. 

Paradigma saya selalu beranggapan bahwa yang menjadi pemimpin hanya orang yang mempunyai kekuasaan, dan kamu bisa membantah itu. Contoh kecilnya, pemimpin diri kita sendiri, pemimpin rumah tangga.

Politik hanya untuk kaum elite. Mungkin itu yang terbayang dalam benak saya dan mereka yang setuju, melihat atmosfer politik yang hanya menggema ke langit kekuasaan daripada berpijak di bumi rakyat. 

Fenomena yang terjadi pada saat ini cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, rakyat dibuat ambigu dengan prosedur dari pemerintah pusat, yaitu Bawaslu dan Kpu yang rumit; bukan hanya rumit, tetapi bertele-tele alias panjang. 

Kemudian, dibuat gelisah dengan hukum. Korupsi ratusan miliar divonis hanya beberapa bulan, sedangkan nyuri sandal jepit divonis bertahun-tahun.

Lalu tugasnya, kita bertengkar dengan bedanya pilihan. Ini wajar, justru perlu karena tahun politik. 

Beberapa orang akan mempertahankan masing-masing argumennya, walaupun data dan fakta pun sudah ditunjukkan. Tentu ini akan jadi permasalahan yang besar sebab kejujuran sudah tidak dijadikan dasar sebuah perdebatan. 

Hoax yang menarik justru lebih laku dibandingkan data yang valid. Paradigma pembaca artikel ini harus diubah, dari yang mudah percaya menjadi pembingung yang besar. Justru ini akan melahirkan jawaban yang mungkin tidak salah. 

Perdebatan menggunakan argumen yang sehat lebih seru dibandingkan dengan pertengkaran fisik yang akan merugikan yang merasa dirugikan.

Yang dibutuhkan negara ini bukan menjual kesalahan orang lain ataupun membanggakan diri masing-masing. Justru perlu pembalikan cara pandang dengan mengedepankan kejujuran (transparasi) politik. Jujur mengakui keberhasilan pihak lain (pemerintah) sebagaimana jujur membongkar kekurangannya.

Pemerintah juga harus jujur bila mempunyai kekurangan tersebut. Kejujuran ini penting, karena pada dasarnya kedua sisi, yaitu keberhasilan dan kegagalan, merupakan ranah kognitif yang dirasakan langsung masyarakat. Karenanya, itu tidak dapat ditutup-tutupi ataupun dipaksa untuk dibesar-besarkan.

Nah, sekarang masuk ke politik tipu-tipu. Sebagai contoh pindah haluan, sebut saja Ali Mochtar Ngabalin. Masuk ke dalam lingkaran istana sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP), bekerja di bawah komando Jenderal Purnawirawan Moeldoko. 

Meski bukan staf khusus presiden, perekrutan Ngabalin sebagai tim Jokowi menjadi sorotan. Pasalnya, pada pilpres 2014, ia bagian dari Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, dengan posisi juru debat. 

Tak heran jika dahulu Ngabalin pun enteng menyerang Jokowi, dari soal remeh seperti serangan fisik saat menyebut Jokowi sebagai capres kurus kerempeng, hingga soal yang lebih esensial seperti menuduh Jokowi tak bisa menepati janji kampanye sebagai Gubernur DKI Jakarta. 

Yang lebih gawat lagi, ketika pemungutan suara usai dan Jokowi dinyatakan sebagai pemenang, Ngabalin bahkan mengatakan perjuangan kubunya tak berhenti dengan kekalahan di pilpres. Tetapi nyatanya sekarang?

Lantas ada Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Harry Tanoesoedibjo, yang tadinya berseberangan dengan Jokowi dalam pilpres 2014. Megawati dan PDIP yang kini menjadi salah kekuatan utama di belakang Jokowi ternyata pernah bersekutu dengan Prabowo dan Gerindra. Anies Baswedan yang sering mengkritik Prabowo di 2014. Nyatanya sekarang?

Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa politik adalah soal perebutan kekuasaan. Begitu pentingnya soal perebutan kekuasaan ini, sering kali etika berpolitik pun dilanggar tanpa sungkan. 

Rakyat di lapisan tengah dan bawah terkaget-kaget, terkejut, lalu terheran-heran, sementara elite politik enteng menampilkan wajah permusuhan atau perkawanan tanpa adanya rasa bersalah maupun kata terima kasih. Ini sesuai kepentingan masing-masing kelompok yang mungkin percaya bahwa dunia ini abadi dan akhirnya rela melakukan apa saja.

Politik kita selama ini sedang terancam oleh pelaku politik yang terdistorsi. Politik tidak lagi memberi harapan apa-apa kecuali kekecewaan semata. Wajah politik menjadi menyeramkan dan banyak orang yang masa bodoh dengan politik. Ini akibat pelaku politik elite yang hampa manfaat dan mangalienasi rakyat. 

Bahkan para wakil rakyat yang sejatinya harus menjadi tameng terdepan bagi aspirasi rakyat malah nyatanya lebih sibuk dengan urusan internalnya, mulai dari studi banding keluar kota atau negeri sampai beberapa aliran dana yang masih penuh misteri. Bila ini terus-menerus belangsung dan dibiarkan, masyarakat pun tahu, kampanye politik hanya safari janji-janji yang indah dan penuh dusta.

Jika banyak yang beranggapan bahwa masyarakat sudah cerdas, menurut saya belum. Sebab masih banyak anak muda yang anti-politik dan pastinya tidak mau tahu tentang politik alias masa bodoh. Padahal anak muda paham akan perkembangan teknologi dan informasi. 

Ingat, anak muda akan menjadi penerus bangsa ini. Kalaupun tidak mau ikut dalam politik praktis, setidaknya anak muda harus mengikuti informasi sekaligus mengamatinya. 

idak bisa dihindari bahwa sesuatu apa pun saling berhubungan dengan politik. Tidak perlu jauh-jauh, misalnya nelayan, petani, dan pengacara (pengangguran punya acara) yang merasakan dampak keras dari politik negara Indonesia ini. 

Untuk itu, kita sebagai generasi millenial harus melek politik supaya tidak apatis akan nasib rakyat kecil yang merasakan.


*Tulisan ini telah terbit di qureta.com